Kali ini saya akan mengulas sedikit uneg-uneg
mengenai pasal yang terdapat dalam UU Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, yakni
pasal 10 yang berbunyi “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang
lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Untuk ketentuan pidana yang melanggar pasal 10 dijelaskan pada pasal 36 yang
berbunyi “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi
seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Bagaimana dengan orang-orang yang menggunakan bikini di kolam renang, di pantai bahkan di bali sering kita jumpai turis manca negara maupun turis lokal hanya memakai bikini disepanjang jalan. Orang yang memakai bikini termasuk orang yang mempertontonkan diri dan menggambarkan ketelanjangan di muka umum yang dapat mengusik hawa nafsu terhadap lawan jenisnya. Apakah mereka dapat terjerat pasal 10 ????.
Bahkan waktu yang lalu saya sangat tercengang
mendengar adanya pesta bikini yang dilakukan anak SMA untuk merayakan kelulusan
sekolah. Seolah-olah mereka tidak memahami dengan benar terhadap resiko
yang akan mereka hadapi. Jika pesta bikini tersebut masih saja tetap diadakan setiap tahunnya membuktikan bahwa lemahnya penegakan hukum terhadap Undang-Undang Pornografi.
Serta pada kenyataannya tidak ada satupun orang yang
memakai bikini terjerat pasal 10 ataupun tindak lanjut pidana mengenai pesta
bikini yang dilakukan anak-anak SMA yang bahkan usia mereka masih dibawah umur.
Disini saya mempertanyakan makna dari pasal tersebut. Apakah konten ketelanjangan yang dimaksudkan dalam pasal 10 terdapat batasan-batasan tertentu yang bahkan belum saya ketahui. Untuk itu seharusnya diperlukan tambahan peraturan yang memberikan pendefinisian yang jelas, sehingga tidak akan terdapat ambiguitas ataupun salah pengetian maksud dari Undang-Undang tersebut. Serta kita dapat mengetahui dengan jelas sampai dimana kita tidak boleh melakukan perbuatan yang mengandung unsur pornografi.